Mampukah Huawei bertahan tanpa Google? - Ada yang mengganjal saat acara peluncuran seri ponsel Huawei Mate 30 di Munich, Jerman, pekan lalu.
Huawei Mate 30, Mate 30 Pro, dan Mate 30 RS Porsche Design dibekali aneka hardware dan fitur tercanggih, tapi ada satu batu sandungan yang cukup signifikan.
“Kami tak bisa menggunakan layanan Google Mobile Services (GMS),” ujar CEO Huawei Richard Yu saat memperkenalkan duo Mate 30 dan Mate 30 Pro di panggung acara, Kamis (19/9/2019).
Dengan kata lain, meski sistem operasinya tetap berbasis Android 10, jajaran ponsel Mate 30 tidak dilengkapi dengan aneka aplikasi dan layanan Google, termasuk toko aplikasi Android Play Store, Google Maps, Gmail, dan YouTube.
Padahal, aplikasi dan layanan Google adalah bagian tak terpisahkan dari ekosistem perangkat Android bagi para pengguna di luar China.
Para konsumen di wilayah Eropa, Amerika, hingga Indonesia sudah terbiasa bergantung pada sederet layanan Google yang selalu hadir di perangkat Android.
Untuk pasar domestik Huawei di China, konsumen gadget agaknya tak akan terlalu berpengaruh karena sejak awal layanan dan aplikasi Google memang absen di sana.
Jervis Su, Vice President Consumer Mobile Services Huawei, memperjelas penyataan Richard Yu dalam sesi tanya jawab, sehari setelah acara peluncuran lini ponsel Huawei Mate 30.
Dia mengatakan bahwa sebagai buntut perang dagang antara AS dengan China, mulai sekarang ponsel-ponsel Huawei tidak akan bisa lagi menggunakan aplikasi dan layanan Google (GMS), dengan sedikit pengecualian.
“Hanya perangkat yang sudah ada di pasaran yang tidak terdampak,” katanya menanggapi pertanyaan wartawan tentang nasib layanan Google di ponsel Huawei.
Smartphone Huawei yang masih bisa menjalankan layanan dan aplikasi Android Google misalnya lini P30 yang dirilis awal tahun ini.
Smartphone papan tengah Huawei Nova 5T yang akan meluncur di Indonesia dalam waktu dekat pun tidak terpengaruh dan masih dibekali dengan berbagai layanan Google.
Nova 5T memang sudah diumumkan sejak Agustus 2019 dan mulai dirilis ke pasaran pada awal September.
Perangkat ini masih lolos dari kebijakan pemerintah AS yang melarang perusahaan-perusahaan asal negeri Paman Sam -termasuk Google- menjual produk ataupun layanan ke Huawei.
Beda halnya dengan Mate 30, Mate 30 Pro, dan Mate 30 RS Porsche Design. Calon pemilik trio ponsel tercanggih dari Huawei itu tidak akan menemukan aplikasi dan layanan GMS di dalamnya.
“Mate 30 menghadapi situasi baru yang belum pernah kami alami sebelumnya,” imbuh Jervis Su. Mulai dari lini Mate 30 yang menjadi korban pertama dari perang dagang AS dan China, ponsel berikutnya dari Huawei pun tidak bisa memakai aplikasi dan layanan Google.
Pemilik perangkat Huawei yang sudah dirilis sebelum Mate 30 tidak perlu khawatir, karena aplikasi dan layanan Android Google tetap akan berjalan dan berfungsi dengan normal.
Huawei bertindak cepat menyiapkan ekosistem aplikasinya, Huawei Mobile Services (HMS) sebagai pengganti GMS yang bakal absen dari ponsel-ponselnya.
Raksasa China ini menggelar program insentif bernilai 1 miliar dollar AS (Rp 14 triliun) untuk menarik developer agar membuat aplikasi yang didistribusikan lewat toko Huawei App Gallery.
Huawei turut menjanjikan revenue sharing sebesar 85 persen untuk developer yang memajang aplikasinya di toko App Gallery.
Persentase pendapatan yang bakal diperoleh developer tersebut lebih besar dibandingkan revenue sharing di Google Play Store maupun Apple App Store sebesar 70 persen.
Menurut Jervis, HMS kini sudah eksis selama lebih dari 5 tahun di China dan lebih dari 2 tahun di luar China. Jumlah developer-nya di seluruh dunia mencapai kisaran 1 juta dengan jumlah aplikasi lebih dari 45.000.
Dia menyebutkan ada berkah tersembunyi bagi developer independen di balik pemblokiran aplikasi dan layanan Google di ponsel-ponsel mendatang dari Huawei.
“Banyak perusahaan software senang dengan situasi ini karena mereka pikir ini peluang besar agar bisa memajukan bisnis,” klaim Jervis.
Jumlah aplikasi di App Gallery masih jauh dibandingkan Google Play Store yang mencapai kisaran 2,7 juta hingga pertengahan tahun ini.
Namun, persoalan kelengkapan ekosistem sebenarnya lebih mendalam dari sekadar jumlah aplikasi, karena layanan Google sekaligus berperan menjalankan sejumlah fungsi penting di ponsel.
Misalnya, Play Services digunakan untuk menyalurkan notifikasi di aplikasi-aplikasi populer seperti Instagram dan Facebook. API Google Maps pun diintegrasikan oleh aneka layanan yang menggunakan pemetaan, macam transportasi online.
Di luar itu, masih banyak pertanyaan menyangkut kesiapan HMS untuk digunakan oleh konsumen. Contohnya sekuriti untuk aplikasi di App Gallery.
Jervis menyebutkan bahwa Huawei menerapkan keamanan 4-tahap untuk memastikan aplikasi yang disalurkan ke App Gallery benar-benar aman.
“Sebelum aplikasi-aplikasi diunggah, mereka diperiksa untuk memastikan keamanan User. Kami belum membandingkan dengan platform lain, tapi kami punya sekuriti sendiri,” terang Jervis.
Soal keamanan ini nanti masih harus dibuktikan. Sebagai gambaran, Google sendiri masih sering kecolongan memuat aplikasi berbahaya di Play Store yang menyisipkan program jahat.
Beberapa aplikasi ini sempat diunduh banyak pengguna sebelum akhirnya ketahuan dan dihapus.
Lalu ada juga kekhawatiran soal ketersediaan aplikasi pemerintahan dan perbankan yang sering digunakan oleh user, seperti dalam kasus mobile banking.
Tentang ini, Jervis mengatakan pihaknya memiliki tim-tim khusus di berbagai negara untuk membujuk pihak terkait agar menyediakan aplikasi di App Gallery Huawei. Namun, dia belum bisa memberikan kepastian.
“Banyak dari layanan itu (misalnya mobile banking) bisa diakses lewat web. Kalau file APK-nya tidak ada, tim kami akan berdiskusi dengan developer yang bersangkutan untuk menyediakan solusi,” ujar Jervis.
Bagaimana pula dengan sistem pembayaran? Ini pun masih belum jelas.
Aplikasi gratis tentu tak masalah. Namun, untuk aplikasi berbayar, Jervis mengatakan pengguna mesti membayar dua kali apabila pernah membeli satu aplikasi di Google Play Store, kemudian ingin mengunduh aplikasi yang sama di App Gallery.
“Pengguna sudah bisa membeli aplikasi berbayar. Namun, untuk model berlangganan, sistemnya berbeda dan masih direncanakan,” katanya.
Huawei sendiri bukannya tidak mau menggunakan aplikasi dan layanan Google. Dalam presentasinya di panggung peluncuran, CEO Richard Yu mengatakan pihaknya terpaksa mengandalkan HMS karena tidak punya pilihan lain akibat GMS yang tak boleh dipakai Huawei.
Jervis mengutarakan sentimen yang sama. “Kami sebenarnya dengan senang hati akan memakai GMS. Google juga begitu. Tapi ada alasan lain yang mencegah itu terwujud,” keluhnya.
Perusahaan-perusahaan AS sebenarnya bisa mengajukan lisensi agar dibolehkan menjual produk dan
layanan ke Huawei. Google sudah mengajukan permintaan lisensi itu bersama perusahaan-perusahaan AS lain.
Hingga akhir Agustus lalu, Departemen Perdagangan AS sudah menerima lebih dari 130 permintaan lisensi untuk berbisnis dengan Huawei.
Namun, belum ada yang dikabulkan. Google pun tak bisa memberikan aplikasi dan layanannya ke Huawei selagi belum mendapat lisensi bisnis.
Akankah keadaan ini berubah untuk Huawei di masa depan? Jervis hanya tersenyum. “Saya pikir itu tergantung Trump (Presiden AS),” jawabnya singkat.
Selain Huawei, beberapa vendor China lain belakangan giat mempromosikan toko aplikasinya sendiri sebagai alternatif Google Play Store.
Mungkin mereka memetik pelajaran dari nasib Huawei dan ingin mengurangi ketergantungan pada Google, setidaknya untuk penyediaan aplikasi.
Oppo misalnya, pada Juni lalu menawarkan iming-iming promosi gratis untuk developer lokal Indonesia yang memajang aplikasinya di toko Oppo App Market.
Lalu, awal bulan ini, Xiaomi turut menggelar program insentif dengan nilai total Rp 200 miliar demi menarik developer lokal Indonesia, agar membuat software untuk toko GetApps besutannya.
Namun, beberapa layanan Google yang sudah kadung akrab dengan pengguna Android dan sulit dibuat tandingannya mungkin akan tetap tak tergantikan, misalnya saja Google Maps dan Google Photos.
Bagaimana nasib ponsel-ponsel Huawei di pasaran tanpa layanan serta aplikasi Google? Hanya waktu -dan Presiden Trump- yang bisa menjawab.